Minggu, 15 Januari 2012

Lingkungan Desa Adat Penglipuran Bertahan di Tengah Arus Modern


Di tengah derasnya pertumbuhan pariwisata dan perkembangan perkotaan, suatu daerah di Bali, sebuah pemukiman mampu mempertahankan tradisi berumur ratusan tahun untuk hidup berdampingan dengan gemerlap dunia modern. Itulah Desa Adat Penglipuran.

Berlokasi di kabupaten Bangli, sekitar 45 km dari Denpasar, Desa Adat Penglipuran sudah ada sejak 700-an tahun yang lalu, yaitu pada zaman kerajaan Bangli. Penduduk dari daerah Bayung Gede di Kintamani pindah ke tempat desa ini berada sekarang. Nama Penglipuran sendiri berasal dari kata Pengeling Pura yang berarti tempat suci untuk mengingat para leluhur. Segala pengembangan fisik desa dan pengembangan budayanya masih mengacu pada tanah leluhur yang masih ada di Bayung. Bahkan untuk berbagai upacara adat tertentu masih harus memohon restu ke tanah leluhur tersebut.

Desa ini menganut tata ruang dengan konsep trimandala, dibagi ke dalam tiga ruang yang berbeda secara fungsi dan tingkat kesucian, yaitu utama, madya dan nista. Letak ketiga ruang ini membujur dari utara (gunung) ke selatan (laut), dengan jalan desa lurus berundak sebagai poros tengah, memisahkan ruang madya menjadi dua bagian. Di paling utara pada zona utama atau “ruang pada dewa”, berdiri bangunan suci pura bernama Penataran tempat beribadah para penduduk desa. Adapun zona madya atau “ruang manusia” terdapat 76 kaveling pekarangan dan rumah tempat bermukim warga terbagi ke dalam dua jajaran, yaitu barat 38 dan timur 38. Setiap kaveling memiliki ukuran 800-900 meter persegi memanjang dari barat ke timur. Jalan desa sebagai pemisah dipertahankan bebas dari kendaraan roda empat dan tidak menggunakan aspal tetapi paving block dan batu sikat. Bagian paling selatan adalah nista mandala atau “ruang bagi manusia yang telah meninggal” berupa tempat pemakaman penduduk desa.

Rumah setiap keluarga dalam setiap kaveling tampak hampir seragam semuanya, berada dalam pekarangan dan dibatasi oleh pagar tembok serta memiliki gerbang khas Bali sebagai pintu masuk. Setiap pekarangan mempunyai beberapa bangunan berupa ruangan tidur, ruangan tamu, dapur, balai-balai, lumbung dan tempat sembayang dalam rumah. Antara satu pekarangan dengan pekarangan lainnya terdapat jalan sempit yang menghubungkan keduanya. Bangunan berarsitektur tradisional dengan material tiang dari kayu dan atap yang khas berupa sirap bambu.

Penggunaan bambu yang cukup dominan tidaklah mengherankan karena 40% dari luas wilayahnya merupakan hutan bambu. Material untuk bangunan bisa diambil dari hutan ini, di samping juga untuk bahan barang kerajinan dan kebutuhan untuk ritual. Dari sisi ekologis, hutan bambu berfungsi vital untuk menahan erosi mengingat kondisi lahan desa yang miring.

Kemampuan mempertahankan penataan ruang dan bangunan secara tradisional di desa Penglipuran, menjadi suatu daya tarik tersendiri sehingga akhirnya tempat ini berkembang menjadi desa wisata. Kegigihan para penduduknya untuk memperjuangkan keaslian desa juga patut mendapat penghargaan, tidak mengherankan desa Penglipuran pernah memperoleh anugerah Kalpataru.