Selasa, 27 Desember 2011

Membangun Karakter Anak


Tidak ada yang bisa kita lakukan dengan kecerdasan kita, kalau jiwa yang menjadi tempat berkembangnya amat rapuh. Bukan cemerlangnya otak yang menjadikan orang-orang besar memberi warna pada sejarah. Bukan cepatnya berfikir pula yang menjadikan sebagian negeri lebih disegani daripada negeri-negeri lain. Bangsa-bangsa yang amat disegani itu boleh jadi otak anak-anak mereka tidak secemerlang anak-anak kita. Akan tetapi mereka memiliki karakter yang kuat. Begitu kuatnya karakter mereka sebagai pribadi dan sebagai bangsa, sehingga mereka sigap menentukan sikap. Tidak gamang. Tidak ragu-ragu. Tidak pula gemetar saat menjatuhkan sikap.

Anak-anak yang sangat berpengaruh pada teman-teman sepermainan yang sebaya atau bahkan yang lebih tua usianya, kerapkali bukan ditentukan oleh kecerdasan intelektualnya. Tetapi oleh seberapa kuat karakter membentuk dirinya. Tak peduli karakter itu baik atau buruk. Kalau karakternya yang menonjol sangat baik, maka anak-anak di sekelilingnya akan cenderung terbawa. Yang semula buruk, berkurang keburukannya dan berangsur-angsur menjadi baik.Sementara yang telah baik, akan berjalan seiring dan berlomba untuk semakin baik.

Karakter yang kuat dibentuk oleh penanaman nilai yang menekankan tentang baik dan buruk. Nilai ini dibangun melalui penghayatan dan pengamalan, membangkitkan rasa ingin dan jijik yang sangat kuat, dan bukan menyibukkan diri dengan pengetahuan.

Pengetahuan hampir-hampir tidak memberi pengaruh pada perilaku jika pengetahuan itu tidak sejalan dengan sikap kita.

Apa yang salah dengan pengetahuan? Tidak ada yang salah. Tetapi pengetahuan yang tidak dihayati dan diyakini sebagai sikap terbaik, tidak memberi bekas apa-apa pada perilaku. Dan sikap terbaik itu penopangnya adalah harapan dan ketakutan. Ketika Anda merasa takut tertular penyakit, makanan yang sehat pun bisa Anda hindari. Tetapi jika dorongan keinginan untuk merasakan nikmatnya makanan yang lebih menguasai diri Anda, pengetahuan tentang bahaya yang ada di balik sajian di hadapan Anda bisa tidak berarti apa-apa.

Temuan Prof. Paul Rozin agaknya menarik untuk kita pikirkan. Guru besar di University of Pennsylvania yang menjuluki dirinya dengan Dr. Disgust menghabiskan waktunya bertahun-tahun hanya untuk meneliti emosi jijik. Ia melakukan serangkaian percobaan untuk membangkitkan rasa jijik dan sebaliknya. Hasilnya? Emosi jijik sangat mempengaruhi manusia, sekalipun terhadap apa yang tidak tampak. Lebih-lebih jika emosi jijik itu disertai dengan pengetahuan. Secara umum, emosi yang kuat terhadap suatu perkara jauh lebih kuat pengaruhnya daripada sekedar pengetahuan.

Karakter yang kuat akan cenderung hidup secara berakar pada diri anak-anak kita apabila mereka semenjak awal telah dibangkitkan keinginan untuk mewujudkannya, belajar bersedih apabila orang lain tidak melakukannya,membangkitkan keinginannya untuk menjadikan orang lain baik, dan menumbuhkan kebanggaan saat melakukan, meski dianggap aneh. Pendidikan tentang baik dan buruk serta benar dan salah tanpa membangkitkan keinginan untuk menjadikan orang lain benar, justru cenderung rapuh. Ia bisa terbawa pada dua titik jumud atau mudah menghakimi orang. Ini pada gilirannya juga dapat melahirkan kelemahan berikutnya, seperti tidak dapat menerima kebenaran atau sebaliknya justru sekali terpatahkan akan berantakan keyakinannya.

Proses pembangunan karakter anak akan lebih mudah membekas apabila kita hadirkan kepada mereka sosok yang dapat menjadi sumber identifikasi diri. Disinilah pembangunan karakter anak membutuhkan model yang menjadikan anak meniru dengan bangga.

Ada lagi yang perlu kita perhatikan, yaitu perintah dan larangan yang menyertai pemahaman baik dan buruk akan memperkuat karakter yang kita bangun pada anak. Tetapi pemberian perintah dan larangan semata justru bisa membuat mental anak rapuh, kreativitas mereka mati dan jiwa mereka kerdil. Perintah dan larangan itu sebaiknya diberikan kepada mereka sebagai lanjutan dari penanaman prinsip-prinsip dasar yang kokoh. Jadi semacam konsekuensi dari prinsip yang telah lebih dulu mereka pahami dan hayati. Jika tidak, mereka menjadi orang yang kaku, bukan kokoh.