Selasa, 31 Mei 2011

Menghapus Bayang-bayang Trauma Anak

Data KPAI: 21 juta anak jadi korban kekerasan, 292 di antaranya tewas setelah disiksa.

Anak Depresi (doc. Corbis)

Anak merupakan aset yang paling berharga dalam masyarakat. Namun, pelanggaran terhadap hak anak masih kerap terjadi.


Menurut Seto Mulyadi, Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia, "Di dalam masyarakat, anak masih merupakan hal yang sering dianggap tidak penting. Padahal, membina anak sama dengan membina masa depan bangsa," kata pria yang akrab disapa Kak Seto.

Pelanggaran hak anak dapat berupa pelanggaran terhadap hak pendidikan, hak kesehatan, dan eksploitasi anak. Menurut data dari KPAI pada 2010, setidaknya 21 juta anak jadi korban kekerasan, 292 anak di antaranya tewas setelah disiksa. Padahal sudah 20 puluh tahun hak-hak anak diatur dalam konvensi anak PBB. Namun, masih saja pemerintah Indonesia menganggap masalah anak bukanlah masalah penting.

Baru-baru ini saja, awal Desember lalu sebuah panti asuhan dikunci oleh kepolisian untuk melindungi para penghuni dari ancaman sebuah ormas. Sayangnya, kondisi ini justru membatasi aktivitas anak-anak panti. Hal tersebut memunculkan ketakutan dan kecemasan pada diri anak. Bahkan hak mendapatkan pendidikan pun terampas, karena mereka harus memanjat pagar untuk pergi sekolah.

Selain itu, adanya kasus artis muda, yang kabur dari rumah karena merasa dieksploitasi oleh orangtuanya, serta banyaknya anak korban perceraian orang tua.

Konflik berkepanjangan yang terjadi tentu akan membawa dampak psikologis anak saat mereka beranjak remaja. Mungkin ketika masih kecil, mereka tidak merasakan apa-apa, tetapi otak mereka menyimpan peristiwa-peristiwa yang dialami. Perkembangan mental pada anak justru sangat tergantung cara orang dewasa memperlakukan mereka di usia kanak-kanak.

Usia anak di bawah 18 tahun merupakan usia rentan terhadap perkembangan jiwa dan mental. Sebab, di usia ini anak akan lebih membuka diri terhadap dunia luar dan mencoba mempelajari dunia sekitarnya. Saat menjelang dewasa, hal ini pun menjadi momok menyeramkan bagi anak, dan mereka akan cenderung mengulang peristiwa yang terjadi saat dia kecil

“Anak di masa kecil sering menjadi objek kekerasan dapat berubah menjadi subjek kekerasan di masa depan,” ujar Kak Seto.

Pelanggaran hak anak, apalagi yang bersifat eksploitasi akan berujung pada depresi dan trauma bagi anak. Depresi dan trauma terhadap anak dapat membentuk jiwa tidak percaya diri, dan selalu takut menjalani kehidupan di masyarakat. Bahkan, anak-anak yang mengalami trauma dapat melakukan hal-hal nekat tanpa berpikir panjang, seperti bunuh diri, menggunakan obat-obat terlarang untuk dapat mengakhiri rasa tertekannya.

Untuk membantu anak keluar dari depresi dan rasa traumatiknya, dibutuhkan pihak ketiga yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman. Karena itulah, dibentuk KPAI sejak 2000. “Seharusnya komisi perlindungan anak ada di setiap daerah, tidak hanya di pusat, mengingat masih tingginya pelanggaran terhadap hak anak di
Indonesia," ujar Kak Seto.

Tentu sangat diharapkan dengan adanya lembaga-lembaga dan individu yang peduli terhadap nasib anak-anak, akan membantu menciptakan generasi berkualitas bagi negara ini. Kak Seto dan Koalisi Advokasi Hak Anak Indonesia, terdiri dari 33 lembaga yang peduli terhadap hak anak, pun mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam perlindungan hak anak.