Hari-hari ini, media massa ramai memberitakan kasus penyakit yang diderita Azka, bocah berusia 4 tahun yang dirawat di Bogor, serta Shafa, bocah seusia Azka, yang dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Keduanya menderita sindrom Guillain-Barre sehingga lumpuh, termasuk otot pernapasannya.
Tak kurang Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih pun tergerak untuk mengunjungi mereka.
Sindrom Guillain-Barre (Guillain-Barre Syndrome/GBS), menurut dokter ahli saraf Merdias Almatsier, adalah gangguan autoimun. Yakni, kekebalan tubuh menyerang tubuh sendiri, dalam hal ini menyerang sistem saraf tepi, sehingga menyebabkan kelemahan otot, bahkan kelumpuhan.
Gangguan ini bisa menyerang perempuan dan laki-laki di segala usia. Akan tetapi, umumnya mereka yang berusia 30-50 tahun. Situs Mayoclinic menyebutkan, GBS diderita 1-2 orang per 100.000. Sebagai gambaran, Merdias menyatakan bahwa berdasarkan data Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ada 46 kasus GBS pada pasien dewasa di tahun 2010. Itu belum terhitung pasien anak-anak serta pasien yang dirawat di rumah sakit lain.
Pemicu GBS belum diketahui secara pasti. Menurut Merdias, bisa karena virus ataupun nonvirus. Dalam MedlinePlus, situs milik Lembaga Kesehatan Nasional Amerika Serikat, dinyatakan, GBS biasanya terjadi setelah ada infeksi, misalnya flu, radang paru, atau infeksi perut. Bisa juga disebabkan virus Epstein-Barr, infeksi Campylobacter, yaitu bakteri yang terdapat pada produk unggas yang dimasak kurang matang. GBS juga bisa terjadi bersama AIDS, herpes simpleks, mononukleosis, lupus, penyakit Hodgkin, serta bisa terjadi seusai operasi.
GBS umumnya terjadi pada pelindung saraf (myelin sheath). Kerusakan itu disebut demyelination. Hal itu menyebabkan penyampaian sinyal saraf menjadi lamban. ”Kelemahan otot bahkan kelumpuhan terjadi pada kedua sisi tubuh secara simetris. Berbeda dengan gejala polio atau stroke yang umumnya menyerang satu sisi anggota tubuh,” kata Merdias.
Dari bawah ke atas
Umumnya, kelemahan otot berawal dari kaki, kemudian menyebar ke bagian tubuh atas, termasuk tangan. Dalam beberapa kasus bisa terjadi kelumpuhan berawal dari lengan turun ke bawah.
Dalam hal ini penderita merasa kesemutan, nyeri kaki, dan tangan seperti ditusuk-tusuk, serta kelemahan tangan dan kaki sehingga tak mampu menggenggam sesuatu. Jika peradangan menyerang saraf diafragma dan dada, akibatnya bisa fatal. Penderita memerlukan alat bantu pernapasan.
Gejala lain yaitu kehilangan refleks kaki dan tangan, gerak anggota tubuh tak terkontrol, tekanan darah naik turun, mati rasa, serta kejang otot. Selain itu, pandangan kabur, sulit menggerakkan otot wajah, sulit bicara, dan berdebar-debar. Jika penderita mengalami kesulitan bernapas, kesulitan menelan, keluar air liur tak terkontrol, berkunang-kunang dan pingsan, harus segera mendapatkan pertolongan medis.
Gejala GBS sampai pada kondisi penderita menjadi lumpuh bisa berlangsung beberapa hari. Akan tetapi, ada pula yang memburuk dengan cepat. Hanya dalam beberapa jam menjadi lumpuh.
Karena itu perlu diwaspadai gejala-gejala tersebut di atas. Untuk memastikan, dokter akan melakukan pemeriksaan, antara lain dengan mengambil contoh cairan sumsum tulang belakang, elektromyografi, elektrokardiografi, dan tes fungsi paru.
Terapi
Sejauh ini belum ada obat untuk GBS. Meskipun demikian, ada terapi untuk mengurangi gejala, mengobati komplikasi, dan mempercepat pemulihan.
Pada tahap awal, terapi untuk menghambat antibodi yang menyerang sel saraf bisa mengurangi keparahan GBS. Salah satunya, plasmaferesis, yaitu mengeluarkan darah dari tubuh, biasanya dari tangan, dipompa ke mesin untuk menghilangkan antibodi, kemudian memasukkan darah kembali ke tubuh.
Metode lain adalah menghambat antibodi dengan terapi imunoglobulin dosis tinggi. Adapun rasa nyeri diobati dengan obat antiradang serta kortikosteroid.
Jika segera ditangani, demikian Merdias, dalam 3 minggu sampai 1 bulan, sebanyak 90 persen penderita bisa pulih. Meski demikian, data Lembaga Gangguan Saraf dan Stroke Nasional AS menunjukkan, sekitar 30 persen penderita masih mengalami kelemahan otot dalam tiga tahun, bahkan kelemahan otot ringan bisa bertahan dalam waktu lama.