Bercerita, cara mudah cerdaskan anak. (Foto: Getty Images)
MENDONGENG atau bercerita sering dianggap sebagai hal yang sederhana. Padahal lewat bercerita, seorang anak bisa diajarkan segala hal, mulai dari belajar bahasa, pengetahuan umum, etika, kreativitas, sampai mendekatkan orangtua dengan anak.
Nayla (6), sedang asyik membaca sebuah cerita anak-anak. Layaknya pendongeng, dia bercerita dengan suara keras, sambil sesekali menirukan suara benda-benda yang ada dalam cerita.Seringkali, dia berhenti membaca, saat menemukan kata-kata yang tidak dimengertinya. Pada ibu yang mendampingi nya membaca, Nayla sibuk bertanya arti kata “terhuyung”, “melesat”, atau “gaduh”.
“Saya memang bilang ke dia, kalau ada kata-kata yang tidak dimengerti, tanyakan saja. Selain agar dia bisa memahami teks yang dia baca, sekalian juga belajar katakata dalam bahasa Indonesia yang sehari-harinya mungkin sudah tidak pernah dia dengar,” kata Tri, ibu Nayla.
Mendongeng, bercerita, atau mendampingi anak saat mereka sedang membaca buku sudah jauh-jauh hari dianjurkan psikolog anak Seto Mulyadi atau Kak Seto. Dalam sebuah kesempatan, pria yang selalu berwajah sumringah ini mengatakan bahwa dengan mendongeng, komunikasi antara orangtua dan anak akan lebih efektif.
“Mengajar bahasa Indonesia pada mereka juga lebih mudah,” katanya.
Tentu saja, itu hanya sebagian kecil dari manfaat bercerita. Manfaat lebih besar, dan paling mendasar ialah bahwa bercerita bisa dijadikan alat untuk membentuk perilaku dan nilainilai dasar yang penting bagi perkembangan karakter anak.
Nah, waktu yang tepat untuk hal tersebut ialah saat anak berusia 1-5 tahun, atau yang sering disebut sebagai golden age atau usia emas. Pada usia emas, anak-anak akan mudah sekali menyerap sesuatu dari lingkungan sekitarnya. Mereka akan dengan mudah meniru sesuatu yang mereka lihat atau dengar.
Ini menjadi jawaban mengapa anak-anak yang tumbuh di era sekarang mudah sekali menghapal lagu-lagu orang dewasa, karena hanya itulah yang mereka lihat di sekelilingnya.
Nah, daripada menghapal lagu orang dewasa yang tidak sesuai usianya, akan lebih baik jika anak dibacakan cerita yang bisa menanamkan nilai-nilai positif pada dirinya. Cerita menjadi media yang tepat, karena bagi anak-anak, mendengarkan cerita umumnya menjadi hal yang menyenangkan. Lewat cerita pula, penanaman nilai bisa dilakukan secara halus, tanpa harus membentak atau menasehati anak.
Cara penanaman nilai ini juga dinilai akan mengembangkan kreativitas anak, dibanding lewat perintah atau instruksi yang akan membunuh kreativitas anak. Menurut psikolog yang juga dosen di Universitas Airlangga Budi Setiawan, saat mendengar atau membaca sebuah cerita, seorang anak akan membangun definisinya sendiri tentang segala hal yang ada di cerita tersebut. Imajinasinya akan berkembang seiring jalannya cerita.
“Misalnya didalam cerita ada mobil. Dengan mendengarkan cerita tersebut, si anak bisa berpikir bahwa ternyata mobil bisa mengantarkannya dari satu tempat ke tempat yang lain.Ia bisa tahu banyak fungsi mobil dengan sendirinya, dengan pikirannya.Ini akan memicu daya pikir dan kreativitasnya dibanding jika ia diberikan definisi langsung apa itu mobil,” jelas psikolog yang akrab disapa Bukik ini.
Lakukan seleksi cerita
Meski dongeng dan bercerita merupakan cara ampuh dalam mendidik anak usia dini, namun Budi juga mengingatkan agar orangtua tidak sembarangan dalam menceritakan dongeng kepada anak-anak. Pasalnya, ada dongeng-dongeng yang ternyata bisa saja tidak sesuai dengan nilai-nilai positif yang ingin ditanamkan orangtua yang bersangkutan.
Budi mencontohkan dongeng tentang Si Kancil yang bisa saja malah menanamkan nilai tentang menghalalkan segala cara dan mengorbankan orang lain demi keinginannya. Begitu juga dongeng tentang Si Malin Kundang anak durhaka.
“Sekilas, Malin Kundang memang terasa mendidik anak agar tidak melawan orangtua. Tapi ini bisa terjadi fatalisme. Anak akan takut mencoba, takut belajar, karena kalau sudah salah, dia tidak akan bisa mencoba lagi,” terang psikolog yang mendirikan organisasi sosial Indonesia Bercerita ini.
Karena itulah, Budi menyarankan agar orangtua membaca dan memilah dulu dongeng atau cerita yang ingin dibacakan kepada anak. Cerita juga harus disesuaikan dengan tumbuh kembang anak, agar anak mampu mencerna cerita dengan baik dan akhirnya tertancap di benaknya hingga dewasa nanti.
Untuk bisa memilih cerita yang baik, Budi memiliki perumpamaan sebuah pohon untuk menggambarkan nilai-nilai tersebut, yang juga dijadikannya ukuran dalam menilai cerita-cerita yang dibuat di Indonesia Bercerita.
Buah, misalnya, diibaratkan sebagai cerita untuk menanamkan nilai-nilai kreativitas, kemauan untuk belajar, dan kemampuan kolaborasi atau kemauan untuk berperan aktif dalam tim sesuai kelebihan yang dimiliki si anak sambil menghargai kelebihan yang dimiliki anak yang lain.
Sementara karakter Daun, ialah karakter yang berkaitan dengan hubungan sosial,misalnya menumbuhkan rasa empati, bersikap ramah, penyayang, dan mau berbagi dengan sesama.
Karakter Batang-Dahan mengacu pada karakter yang membentuk perilaku anak. Yaitu pengelolaan emosi, motivasi diri, kemandirian, dan rendah hati. Terakhir yaitu Akar, atau karakter yang menjadi modal dasar yang melandasi jenis karakter lainnya. Elemennya terdiri dari Penerimaan diri atau menerima kelebihan dan kekurangan diri, berpikir apresiatif (bersyukur dan mengapresiasi atas suatu kondisi), imajinatif,dan punya rasa ingin tahu.
Bayangkan, hanya dengan bercerita, orangtua atau guru bisa menanamkan nilai-nilai ini pada anak-anak.Jadi bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kekuatan bercerita.
“Murah, tapi powerfull,” tegas Budi.